Biografi
ibnu sina
Syeikhur Rais, Abu Ali Husein bin Abdillah bin Hasan bin Ali bin Sina, yang
dikenal dengan sebutan
Ibnu Sina atau Aviciena lahir pada tahun 370
hijriyah di sebuah desa bernama Khormeisan dekat Bukhara. Sejak masa
kanak-kanak, Ibnu Sina yang berasal dari keluarga bermadzhab Ismailiyah sudah
akrab dengan pembahasan ilmiah terutama yang disampaikan oleh ayahnya.
Kecerdasannya yang sangat tinggi membuatnya sangat menonjol sehingga salah
seorang guru menasehati ayahnya agar Ibnu Sina tidak terjun ke dalam pekerjaan
apapun selain belajar dan menimba ilmu.
Dengan demikian, Ibnu Sina secara penuh memberikan perhatiannya kepada
aktivitas keilmuan. Kejeniusannya membuat ia cepat menguasai banyak ilmu, dan
meski masih berusia muda, beliau sudah mahir dalam bidang kedokteran. Beliau
pun menjadi terkenal, sehingga Raja Bukhara Nuh bin Mansur yang memerintah
antara tahun 366 hingga 387 hijriyah saat jatuh sakit memanggil Ibnu Sina untuk
merawat dan mengobatinya.
Berkat itu, Ibnu Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan istana Samani yang
besar. Ibnu Sina mengenai perpustakan itu mengatakan demikian;
“Semua buku yang aku inginkan ada di situ. Bahkan aku menemukan banyak buku
yang kebanyakan orang bahkan tak pernah mengetahui namanya. Aku sendiri pun belum
pernah melihatnya dan tidak akan pernah melihatnya lagi. Karena itu aku dengan
giat membaca kitab-kitab itu dan semaksimal mungkin memanfaatkannya... Ketika
usiaku menginjak 18 tahun, aku telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu.”
Ibnu Sina menguasai berbagai ilmu seperti hikmah, mantiq, dan matematika dengan
berbagai cabangnya.
Kesibukannya di pentas politik di istana Mansur, raja dinasti Samani, juga
kedudukannya sebagai menteri di pemerintahan Abu Tahir Syamsud Daulah Deilami
dan konflik politik yang terjadi akibat perebutan kekuasaan antara kelompok
bangsawan, tidak mengurangi aktivitas keilmuan Ibnu Sina. Bahkan safari
panjangnya ke berbagai penjuru dan penahanannya selama beberapa bulan di
penjara Tajul Muk, penguasa Hamedan, tak menghalangi beliau untuk melahirkan
ratusan jilid karya ilmiah dan risalah.
Ketika berada di istana dan hidup tenang serta dapat dengan mudah memperoleh
buku yang diinginkan, Ibnu Sina menyibukkan diri dengan menulis kitab Qanun
dalam ilmu kedokteran atau menulis ensiklopedia filsafatnya yang dibeni nama
kitab Al-Syifa’. Namun ketika harus bepergian beliau menulis buku-buku kecil
yang disebut dengan risalah. Saat berada di dalam penjara, Ibnu Sina
menyibukkan diri dengan menggubah bait-bait syair, atau menulis perenungan
agamanya dengan metode yang indah.
Di antara buku-buku dan risalah yang ditulis oleh Ibnu Sina, kitab al-Syifa’
dalam filsafat dan Al-Qanun dalam ilmu kedokteran dikenal sepanjang massa. Al-Syifa’ ditulis
dalam 18 jilid yang membahas ilmu filsafat, mantiq, matematika, ilmu alam dan
ilahiyyat. Mantiq al-Syifa’ saat ini dikenal sebagai buku yang paling otentik
dalam ilmu mantiq islami, sementara pembahasan ilmu alam dan ilahiyyat dari
kitab al-Syifa’ sampai saat ini juga masih menjadi bahan telaah.
Dalam ilmu kedokteran, kitab Al-Qanun tulisan Ibnu Sina selama beberapa abad
menjadi kitab rujukan utama dan paling otentik. Kitab ini mengupas
kaedah-kaedah umum ilmu kedokteran, obat-obatan dan berbagai macam penyakit.
Seiring dengan kebangkitan gerakan penerjemahan pada abad ke-12 masehi,
kitab Al-Qanun karya Ibnu Sina diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin. Kini buku tersebut juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,
Prancis dan Jerman. Al-Qanun adalah kitab kumpulan metode pengobatan purba dan
metode pengobatan Islam. Kitab ini pernah menjadi kurikulum pendidikan
kedokteran di universitas-universitas Eropa.
Ibnu juga memiliki peran besar dalam mengembangkan berbagai bidang keilmuan.
Beliau menerjemahkan karya Aqlides dan menjalankan observatorium untuk ilmu
perbintangan. Dalam masalah energi Ibnu Sina memberikan hasil penelitiannya
akan masalah ruangan hampa, cahaya dan panas kepada khazanah keilmuan dunia.
Dikatakan bahwa Ibnu Sina memiliki karya tulis yang dalam bahasa latin berjudul
De Conglutineation Lagibum. Dalam salah bab karya tulis ini, Ibnu Sina membahas
tentang asal nama gunung-gunung. Pembahasan ini sungguh menarik. Di sana Ibnu Sina
mengatakan, “Kemungkinan gunung tercipta karena dua penyebab. Pertama
menggelembungnya kulit luar bumi dan ini terjadi lantaran goncangan hebat
gempa. Kedua karena proses air yang mencari jalan untuk mengalir. Proses
mengakibatkan munculnya lembah-lembah bersama dan melahirkan penggelembungan
pada permukaan bumi. Sebab sebagian permukaan bumi keras dan sebagian lagi
lunak. Angin juga berperan dengan meniup sebagian dan meninggalkan sebagian
pada tempatnya. Ini adalah penyebab munculnya gundukan di kulit luar bumi.”
Ibnu Sina dengan kekuatan logikanya -sehingga dalam banyak hal mengikuti teori
matematika bahkan dalam kedokteran dan proses pengobatan- dikenal pula sebagai
filosof tak tertandingi. Menurutnya, seseorang baru diakui sebagai ilmuan, jika
ia menguasai filsafat secara sempurna. Ibnu Sina sangat cermat dalam
mempelajari pandangan-pandangan Aristoteles di bidang filsafat. Ketika
menceritakan pengalamannya mempelajari pemikiran Aristoteles, Ibnu Sina mengaku
bahwa beliau membaca kitab Metafisika karya Aristoteles sebanyak 40 kali.
Beliau menguasai maksud dari kitab itu secara sempurna setelah membaca syarah
atau penjelasan ‘metafisika Aristoteles’ yang ditulis oleh Farabi, filosof
muslim sebelumnya.
Dalam filsafat, kehidupan Abu Ali Ibnu Sina mengalami dua periode yang penting.
Periode pertama adalah periode ketika beliau mengikuti faham filsafat
paripatetik. Pada periode ini, Ibnu Sina dikenal sebagai penerjemah pemikiran
Aristoteles. Periode kedua adalah periode ketika Ibnu Sina menarik diri dari
faham paripatetik dan seperti yang dikatakannya sendiri cenderung kepada
pemikiran iluminasi.
Berkat telaah dan studi filsafat yang dilakukan para filosof sebelumnya semisal
Al-Kindi dan Farabi, Ibnu Sina berhasil menyusun sistem filsafat islam yang
terkoordinasi dengan rapi. Pekerjaan besar yang dilakukan Ibnu Sina adalah
menjawab berbagai persoalan filsafat yang tak terjawab sebelumnya.
Pengaruh pemikiran filsafat Ibnu Sina seperti karya pemikiran dan telaahnya di
bidang kedokteran tidak hanya tertuju pada dunia Islam tetapi juga merambah
Eropa. Albertos Magnus, ilmuan asal Jerman dari aliran Dominique yang hidup
antara tahun 1200-1280 Masehi adalah orang Eropa pertama yang menulis
penjelasan lengkap tentang filsafat Aristoteles. Ia dikenal sebagai perintis
utama pemikiran Aristoteles Kristen. Dia lah yang mengawinkan dunia Kristen
dengan pemikiran Aristoteles. Dia mengenal pandangan dan pemikiran filosof
besar Yunani itu dari buku-buku Ibnu Sina. Filsafat metafisika Ibnu Sina adalah
ringkasan dari tema-tema filosofis yang kebenarannya diakui dua abad setelahnya
oleh para pemikir Barat.
Ibnu Sina wafat pada tahun 428 hijriyah pada usia 58 tahun. Beliau pergi
setelah menyumbangkan banyak hal kepada khazanah keilmuan umat manusia dan
namanya akan selalu dikenang sepanjang sejarah. Ibnu Sina adalah contoh dari
peradaban besar Iran
di zamannya.
Di Bawah Bulan Separuh
by : simati
Ini perjalanan pertamaku menjejakkan kaki
ke kotamu, kampung
kelahiranmu. Tak pernah terbayangkan sebelum ini, aku bisa sampai ke
kotamu.
Pulau Sumatera sungguh tak pernah masuk dalam peta anganku.
Tetapi, sebulan lalu, tiba-tiba --seperti mimpi-- aku bisa menyeberangi
laut
dan Selat Sunda. Mimpikah aku? Kau meyakinkan aku, kalau aku dalam dunia
nyata.
Kau cubit lenganku, kau sentuh pipiku. Terasa kan? Aku mengangguk.
Berarti aku
memang tidak bermimpi.
Kapal cepat yang menyeberangkan aku dari Dermaga Merak ke Pelabuhan
Bakauhuni
telah menjadikan nyata bagiku bisa sampai ke kota kelahiranmu. Di sini,
pertama
sekali yang kucicipi adalah buah durian. Menurutmu buah berkulit duri
tajam ini
adalah makanan yang nikmat, bisa dibuat apa saja. Bisa dimakan langsung,
diawetkan hingga menjadi nama lain yaitu tempoyak, dodol durian. "Atau
bisa kita campur sambal untuk lauk makan nasi. Makanmu bisa bergairah,
tiga
piring tanpa kau sadari bisa masuk ke mulutmu," katamu.
Wow! Aku pun ingin membuktikannya. Lalu kau ajak aku ke Kafe Yayang di
Jalan
Cut Nyak Dhien Kota Bandar Lampung. Aku menyantap banyak tempoyak yang
telah
dicampur sambal terasi (kau menyebut sambal khas kampung kelahiranmu ini
adalah
seruit). Rasanya pedas sekali. Tetapi aku suka. Keringat membasahi
wajahku,
terutama di bagian kening dan kedua bibirku.
"Kau makan sampai luah iting1," katamu. Aku tersenyum. Tak mengerti
maksud bahasamu.
Aku hendak menghentikan makanku, tapi kau terus menyodorkan makanan
lainnya.
Kau bilang yang terhidang di meja ini semua makanan khas di sini. "Kau
bisa mencicipi sekadar, kalau kau sudah kenyang. Kapan lagi kau bisa ke
kota
ini kalau kau tak mencicipinya sekarang?"
Kau benar. Aku mencicipi semua hidangan yang tersedia. Meski cuma
secuil,
sekadarnya. Aku jadi ingin berlama-lama tinggal di kotamu. Aku ingin
memetik
durian langsung dari pohonnya. Kau tahu, tiba-tiba aku mencintai kotamu,
seperti aku mencintaimu. Ah, benarkah aku mencintaimu? Kupikir begitu.
Meski
tak sebesar cintamu padaku.
Cuma, sudah tiga hari di sini aku belum mendengar orang berbicara dengan
bahasa
ibunya. Tapi dengan bahasa nasional. Aku jadi heran. Kau pun
menjelaskan,
"Inilah demokratisnya orang Lampung, meski akhirnya bahasanya sendiri
seperti tersingkir."
Dan, katamu lagi, "Kami tak pernah terusik. Malah banyak orang asli yang
pandai berbahasa etnis lain. Inilah kekuatan kami, terbuka bagi
pluralisme," katamu. Aku mengangguk. Tersenyum. Tiba-tiba aku merasa
ingin
kau gandeng saat menuruni Kafe Diggers, malam ini.
Aku akan menetap di sini selama 3 bulan. Sebagai mahasiswa semester
akhir, aku
mengambil tugas PKL (Praktik Kerja Lapangan). Aku sengaja memilih PKL di
daerahmu agar aku bisa selalu bersama-sama denganmu. Selain itu, katamu
sebelum
aku mengambil pilihan lokasi PKL, aku bisa mengenal lebih dekat
keluargamu
secara langsung. Itu kau katakan di suratmu sebelum aku berangkat ke
kotamu.
Kalau saja kau melihatku waktu itu, aku hanya mengerutkan keningku
seraya
berkata dalam hati: Benarkah itu? Benarkah aku telah memilihmu sebagai
calon
pendamping hidupku? Setahuku aku hanya ingin bisa berduaan denganmu. Itu
saja.
"Aku ingin mengenalkanmu pada keluargaku. Terutama orang tuaku dan
adik-adikku. Mereka pasti senang menerimamu. Kau gadis Jawa, ayu dan
cantik!" pujimu. Aku tersipu. Kurapatkan bibirmu dengan telapak
tanganku.
Supaya kau tak mengumbar pujian (mungkin rayuan?) untukku.
***
AKU
mengira kotamu masih belantara. Masih banyak binatang buas. Menyeramkan.
Penjahat beringas. Kenyataannya, kotamu nyaris sama dengan kota-kota
lain di
negeri ini yang telah maju. Pembangunan sangat pesat. Di sini ada pula
swalayan, supermarket, dan bangunan lainnya yang mencerminkan kota maju.
Orang tuaku, terutama ibuku, sempat ragu dengan keputusanku memilih
lokasi PKL
di kotamu. Ia khawatir aku akan terlantar di kampung halaman orang. Tak
bisa
lelap karena risau diganggu binatang buas. Itu juga yang membuatmu agak
kecewa.
Aku memang pernah berkata, "Kalau kau hanya menunjukkan pembangunan yang
pesat di daerahmu, sudah tak asing dan khas lagi." Aku setengah protes,
tapi setengahnya lagi aku hendak bertahan.
Bagaimanapun kota kelahiranmu memang mengasyikkan. Aku merasakan
warganya
selalu akur-akur saja, damai-damai saja. Buktinya di sini tak pernah
terjadi
kerusuhan yang mencapai genting hingga membahayakan keutuhan.
Benarkah itu? Aku masih belum yakin. Berbagai etnis ada di daerah ini,
bagaimana mungkin bisa hidup tanpa pernah terjadi pergesekan? Tetapi,
sudahlah,
aku tak sedang mempersoalkan sosiologi di kampung kelahiranmu.
Sebelum memulai tugas PKL di Desa Bakung2, kau sempat mengajakku
mengunjungi
Taman Nasional Bukit Barisan di Bengkunat3 yang menawan. Dan jika
dikelola,
tentunya bisa mendatangkan devisa bagi pemerintah. Aku sempat ketakutan
kala
warga Bakung melakukan protes soal tanah ulayat dengan perusahaan pabrik
gula.
Protes itu berkembang menjadi pertikaian. Ada yang tewas dalam insiden
itu.
Wajar bila warga Bakung protes, karena ganti rugi tanah ulayat mereka
yang
digunakan ladang tebu oleh pabrik gula milik keluarga Cendana, sungguh
tak
wajar. Hanya saja dulu mereka tak berani.
Kasus tanah ulayat Bakung itu menarik. Kau memberi banyak informasi dan
data
tentang itu. "Kau bisa membuat penelitian tentang kasus tanah di situ.
Menarik, sangat menarik." Aku tertarik. Kemudian setiap malam aku banyak
mengobrol, diskusi, dan masuk ke dalam denyut napas orang-orang Bakung.
Kau
selalu setia menemaniku.
Aku suka tinggal di rumah orang tuamu daripada di rumah yang disediakan
Pak
Camat Ari Zamzari selama masa PKL. Rumah tinggalmu terkesan khas: rumah
panggung. Suatu hal baru yang tak kujumpai di tanah Jawa. Seluruh
penyangga
rumahmu terbuat dari kayu. Kayu dari batang yang kuat dan tahan lama.
Katamu
sudah hampir 70 tahun. Rumah khas seperti itu kini banyak disukai
orang-orang
berduit dari kota.
Aku jadi ingin menetap di sini kelak. Setelah kau menyunting aku,
tentunya.
Tetapi, mungkinkah itu? Menurut adatmu, anak tertua sebagai penyimbang,
harus
menikah dengan gadis asli daerahmu. Kau menyebutnya muli.4 Dengan begitu
kau
bisa mendapatkan warisan. Anak-anakmu akan mendapatkan gelar dan
diperkenankan
cakak pepadun.5
Aku yang bukan gadis asli daerah ini bagaimana mungkin bisa
mendampingimu? Aku
sempat ragu juga. Meski orang tuamu, keluargamu, tampak baik-baik saja
denganku. Keluargamu sangat menerima kehadiranku. Itulah yang membuatku
betah
selama PKL. Namun, diam-diam aku juga bertanya pada diriku sendiri.
Sungguhkah
aku ingin menikah denganmu? Jangan-jangan tidak. Jangan-jangan aku salah
menafsirkan perasaanku padamu. Dan pikiranmu tentangku selama ini
keliru.
Entahlah. Aku takut dengan rahasia yang kusimpan sendiri. Aku merasa
memiliki
cinta untukmu. Tapi seberapakah? Dan berhakkah aku?
***
MALAM di
Rawa Jitu, aku sempat gemetar. Tulang-tulang persendianku seperti hendak
copot.
Benar-benar aku dicekam ketakutan. Waktu itu kau tak menemaniku. Kau
mendapat
tugas mendampingi klienmu di Menggala, ibu kota Tulangbawang.
Bagaimana aku tidak ketakutan. Bahkan aku nyaris mati berdiri. Sekawanan
gajah
menyerbu perkampungan. Warga menghidupi puluhan obor, tapi kawanan gajah
itu
tak juga kembali ke belantara. Bahkan parit dengan kedalaman 1,5 meter
yang
dibuat warga sebagai benteng, bisa dengan mudah dilewati para gajah itu.
Kawanan hewan tambun berbelalai panjang itu menggasak rumah-rumah warga.
Memorak-porandakan isi rumah, merusak perkebunan warga. Mencabuti ladang
singkong dan tebu.
Kami dicekam ketakutan. Kentongan dari kayu tak henti dipukuli. Biar
riuh. Agar
gajah-gajah itu masuk kembali ke habitatnya. Sayangnya itu sia-sia.
Seorang ibu
dan dua anak-anak diremukkan dengan belalainya sebelum dilempar ke
semak. Mati.
Ya, malam itu tiga warga di situ tewas. Pertempuran tak sebanding.
Pikirku. Aku
benar-benar takut. Gigil. Tiba-tiba aku teringat pada ibuku di Jawa.
Apakah ia
merasakan apa yang kualami sekarang? Sebuah rasa ketakutan yang
sempurna. Aku
menyelamatkan diri ke kampung sebelah. Dievakuasi ke daerah lain. Tak
hendak
lagi menetap di rumah yang disediakan camat. Aku memilih tinggal di
rumahmu,
bersamamu. Sampai masa PKL-ku selesai.
"Bukankah ini yang kau inginkan?" kau berbisik. Bulan separuh di
langit. Kita duduk di bawah pohon jambu dekat rumahmu. Agak temaram. Aku
menikmati tanganmu membelai rambutku. Kau masih seperti waktu di kampus
dulu.
Amat sayang dan memperhatikan aku.
"Sudah berapa lama kita tak seperti ini, ya?"
Kau memandangku sejenak. Kau tak menjawab. Rasanya memang pertanyaanku
itu tak
memerlukan jawaban. Memang kau lebih dulu selesai. Kau cerdas. Apalagi
kau
selalu mengambil kuliah pintas, semester pendek. "Aku ingin segera
menyelesaikan kuliah. Kasihan orang tuaku di kampung, aku ingin mengabdi
pada
mereka," katamu. Kau pun berjanji akan tetap bersamaku, akan selalu
mencintaiku. "Aku ingin kau menjadi ibu dari anak-anakku…"
Aku percaya. Itu bukan rayuanmu. Kau pun segera bekerja, sebagai pegawai
negeri
di instansi Departemen Kehakiman. Kau ditempatkan di kantor kejaksaan di
kotamu. Surat-suratmu tetap mengalir kuterima. Tapi aku juga tetap
membawa
rahasia diriku. Tentang cintaku padamu. Yang aku sendiri tak begitu
mengerti.
Dan kau tak pernah tahu.
"Aku mengagumi ketegasanmu, kekonsistenanmu," aku memuji. Kau hanya
tersenyum. Aku getir. Entah kenapa. Merasa bersalahkah? Atau aku mulai
bermain
lidah? Membohongimu dengan kata-kataku.
Kalau saja tidak karena urusan kuliah dan aku harus segera ujian akhir,
mungkin
aku akan berlama-lama lagi menetap di kampung kelahiranmu. Aku sudah
telanjur
jatuh hati dengan kampungmu, dengan keterbukaan warganya, dan keramahan
keluargamu. "Terutama denganmu, sayang…" kataku. Tapi bagaimanapun,
aku harus pulang. Kembali ke Jawa. Kembali berpisah denganmu. Dengan
sebuah
rahasia dalam diriku. Tentang cintaku. Diriku.
***
AKU telah mendapat gelar kesarjanaanku. Kau tak datang saat wisudaku
karena
pekerjaanmu mengharuskan kau tetap ada di kotamu. Aku maklum.
Atau….Entahlah.
Aku maklum atau justru tak terlalu peduli. Saat itu, di gedung
auditorium
kampusku, seorang lelaki lain berdiri di sampingku. Ya. Dialah yang
mendampingiku selama acara wisudaku berlangsung. Dan, kau tak tahu itu.
Kini aku masih menganggur. Aku tak secerdas kau. Aku harus mencari
pekerjaan
dengan sekian peluhku. Tak seperti dirimu yang justru dicari-cari
pekerjaan.
Banyak perusahaan menunggu dan menawarimu pekerjaan bahkan sebelum kau
lulus
dari universitas.
Bulan demi bulan berjalan dengan cepat. Surat-suratmu masih menyapaku,
meskipun
semakin jarang saja. Aku tahu kenapa begitu. Bukan karena kau tak
mencintaiku
lagi, tapi barangkali kau lelah dan bingung. Kau pernah bilang ingin
melamarku,
tapi ternyata kau harus berhadapan dengan sebuah dinding yang membuatmu
begitu
dilematis. Keluarga besarmu memang pernah menerimaku dengan baik saat
aku di
kotamu.
Ya. Mereka menerimaku sebagai tamu mereka. Temanmu. Tapi sesungguhnya,
mereka
tetap menginginkan kau kelak menikah dengan gadis satu suku denganmu.
Berarti
bukan aku. Tapi anehnya, aku tak bersedih karena hal itu. Atau berusaha
untuk
tidak sedih? Atau tidak berani untuk bersedih? Ah. Jika kuingat siapa
aku, aku
merasa tak berhak untuk bersedih.
Aku mengingat dirimu. Juga surat-suratmu yang kian tak menemuiku di
sini.
Sedang apakah kau di sana, sayang? Adakah kau mengira aku tengah
menangisi
nasib cinta kita yang kemungkinan besar tak bisa bersatu? Ah. Tiba-tiba
aku
ingin sekali memberitahumu yang sebenarnya terjadi padaku di sini.
Aku mencintaimu. Tapi aku tak pernah bisa meyakini diriku sendiri. Aku,
sesungguhnya, tak sebaik yang kau kira. Aku bermain di belakangmu.
Dengan semua
rahasia tentang cintaku. Diriku. Dan kau tak pernah sekali pun tahu.
Mungkin,
kau tak pernah benar-benar mengenalku. Ataupun kehidupanku. Keluargaku.
Terlebih setelah kau menjadi demikian bisu. Jarang menghubungiku.
Keadaan yang mungkin telah membuatmu luka itu, juga surat-suratmu yang
hanya
sesekali kau kirimkan padaku, malah menjadi alasan untukku menyelamatkan
diri
darimu. Dengan semua permainanku selama ini di belakangmu. Aduh, sayang,
maafkan aku.
Atau aku malah mensyukuri keadaan yang menimpa cinta kita? Mungkinkah
aku
memang benar-benar mencintaimu? Hanya aku tak berani (malu?) untuk
menempuh
hidup bersamamu? Aku memang telah tahu keluargamu. Mereka sangat baik,
bahkan
padaku. Tapi kau sama sekali tidak tahu siapa keluargaku. Iya, kan?
Dan entah kau sadari atau tidak, aku sengaja tak pernah mengajakmu untuk
menemui keluargaku. Mengenal ibuku yang menderita sakit sejak aku
kembali dari
kotamu. Kau pun tak tahu kalau aku tak mempunyai ayah lagi. Sungguh, kau
tak
mengenalku. Selama ini aku yang kau lihat bukanlah aku yang sebenarnya.
Maka ada rasa senang ketika kutahu keluargamu menolak rencanamu untuk
menikahiku. Aku pun tak memrotesmu ketika kau mulai jarang menyuratiku
di sini.
Mungkin ini yang terbaik untukmu. Karena kau tak tahu aku. Barangkali,
kalau
kau tahu siapa aku, kau juga akan langsung meninggalkanku begitu saja.
Barangkali tak akan pernah ada rencana pernikahan kita di kepalamu.
Aku duduk di sisi kanan ranjang yang menopang tubuh kurus ibuku, di
rumah kami
yang sempit. Sudah cukup lama ia sakit. Dan sudah begitu banyak obat
yang masuk
ke perutnya. Tapi ia tak juga beranjak sembuh. Malah sebaliknya. Dadaku
sesak.
Memikirkan keadaan keluargaku. Ibuku, dan dua adikku yang masih
kecil-kecil.
Uang yang kumiliki telah terkuras untuk membeli obat-obatan ibuku. Aku
beruntung masih bisa menyelesaikan kuliahku.
Aku ingat pada kekasihku di seberang. Semua kenangan indahku bersamanya
di kota
kelahirannya, masih kuingat dengan sangat rapi. Kini aku tak pernah lagi
mendengar kabarnya. Barangkali dia sudah menikah, pikirku. Entahlah. Aku
pun
ingin menghilang darinya. Saat ini aku harus memfokuskan diriku untuk
keluargaku. Agar adik-adikku tidak terlantar. Seperti selama ini akulah
tiang
keluarga ini. Dan aku berhasil. Bahkan dapat membiayai kuliahku. Meski,
cara
yang kupilih ini tidak sesuai dengan hatiku sendiri. Tapi, aku terpaksa
melakukannya.
Mataku berkaca-kaca. Kesejukan udara pagi berubah menyakitkan bagiku.
Suara
embun yang menitik di daun kurasakan seperti jarum-jarum yang menusuki
dadaku.
Aku berusaha menahan rasa sedihku. Di hadapanku, ibuku menghembuskan
napasnya
yang terakhir. Dua adikku hanya menangis dan menangis. Aku pusing.
Malam menjemputku. Ini malam ke sepuluh setelah kematian ibuku.
Kegelapannya
seolah berusaha menutupi semua kesedihan yang terlukis di wajahku. Aku
masih
menganggur. Tapi aku tak mungkin menunggu lebih lama lagi. Aku dan kedua
adikku
harus melanjutkan hidup kami. Demi mereka, batinku. Maka….
***
AKU telah berdandan rapi. Seperti yang biasa kulakukan selama aku masih
kuliah
dulu. Kutinggalkan rumah. Ada rasa jengah pada diri sendiri. Tapi
kumusnahkan.
Aku kembali pada pekerjaan lamaku. Menjadikan malam-malamku sebagai
ajang
pertempuran. Pergumulan. Aku membayangkan sekian lembaran uang kertas di
tanganku besok pagi.
Seorang lelaki kini tengah menindih tubuhku yang telanjang. Di sebuah
hotel,
kamar 105…
***
MUNGKIN kau tak akan pernah tahu, atau
sama
sekali tak mau peduli, tentangku. Aku pun begitu. Tak pernah mengharap,
bahkan
untuk selembar kabar darimu. Meski kenangan-kenangan semasa aku di
kampung
kelahiranmu, tak pernah akan pupus.
"Setiap tamu datang dan meminum air sungai ini ia pasti akan kembali.
Air
sungai ini seperti menghipnotisnya. Sungai Tulangbawang ini kami yakini
bertuah," ujarmu. Di bawah bulan separuh. Langit cemerlang. Sungai tua
bernama Tulangbawang6 tengah tenang berombak, di kejauhan tampak
samar-samar.
Waktu itu aku tak begitu yakin. Itu hanya dongeng. Legenda. Bisa kita
lupakan.
Ternyata benar. Aku tak akan pernah kembali ke kampung kelahiranmu.
Meski
kenangan-kenangan itu masih terang di benakku. Juga tentang dirimu.
Cinta kita.
Kubiarkan segala kenangan dan cinta kita tetap ada, betapa pun aku telah
berpindah-pindah dari lelaki satu ke lelaki yang lain. Masuk hotel dan
keluar
hotel. Ditiduri. Kota ini akan menyembunyikan diriku. Tak seorang pun
tahu.
Seperti malam ini, jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 03.15, dengan
langkah gontai karena kebanyakan air beralkohol kutinggalkan kamar hotel
itu.
Pulang. Ya. Sebelum pagi menjemput. Sebelum bulan separuh di atas
kepalaku
lesap di peraduannya. Aku masih saja terkenang kampung kelahiranmu yang
menyimpan selaksa harapan. Ya, harapan…
***